Rabu, 16 Juli 2014

Makalah
Review Akuntansi Internasional

logo_gunadarma.jpg (800×797)


Dosen : Dini Yarti Wulandari
Kelas   : 4EB20
Anggota Kelompok :
·         Ade Rega                                20210120
·         Amelia Syafrina                      20210609
·         Biondi Antariksa                     21210422
·         Gusty Randa                           23210058
·         M. Taufik Syam Amir             24210143
·         Putranti Mumpuni                   25210433
·         Ravian Sutrisno                       25210683




UNIVERSITAS GUNADARMA
2014


Adopsi IFRS dan Relevansi Nilai Informasi Akuntansi
Nur Cahyonowati & Dwi Ratmono
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
Email: pemuda54@yahoo.com


ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi kualitas informasi akuntansi pada periode sebelum dan setelah adopsi IFRS pada standar akuntansi keuangan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan relevansi nilai sebagai proksi dari kualitas informasi akuntansi. Informasi akuntansi yang berkualitas dapat dilihat dari relevansi informasi akuntansi dalam pengambilan keputusan investor sebagaimana tercemin pada harga saham. Adopsi standar berbasis IFRS diprediksi tidak meningkatkan kualitas informasi akuntansi karena faktor lingkungan yang spefisik ada di Indonesia. Populasi penelitian ini adalah perusahaan publik yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia pada periode 2008–2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi standar berbasis IFRS di Indonesia belum dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi. Relevansi laba akuntansi dengan keputusan investasi sebagaimana tercermin pada harga saham tidak meningkat secara signifikan pada periode setelah adopsi IFRS.
Kata kunci: Relevansi nilai, adopsi IFRS, price model.

ABSTRACT
This objective of this research is to explore the quality of accounting information before and after the adoption of IFRS on Indonesian Accounting Standards. This research explored the value relevance of earnings as one dimension of the quality of accounting information. High quality of accounting information refers to high relevancy. The adoption of new standards is predicted not to increase the quality of accounting information regarding the environmental factor in Indonesia. The population of this research is public company listed on the Jakarta Stock Exchange from 2008–2011. The results suggested that the application of IFRS-based standards has not incrased the quality of accounting information in Indonesia.
The relevance of accunting earnings has not increased significantly after the adoption of IFRSbased standard
Keywords: Value relevance, IFRS adoption, price model.

PENDAHULUAN
Pada Dasarnya Tujuan dibentuknya International Accounting Standards Committee (IASC) dan International Accounting Standards Board (IASB) adalah menyusun  standar pelaporan keuangan internasional yang berkualitas tinggi.1 Hal ini sejalan dengan mandat pertemuan negara-negara G-20 di London IASC dibentuk pada tahun 1973 dengan menerbitkan IAS pertama kali pada tahun 1975. Proses penyusunan IAS mengalami perubahan subtansial dengan direstrukturisasinya IASC menjadi IASB pada tahun 2001. Standar yang diterbitkan oleh IASB disebut sebagai IFRS. Sejak tahun 2005, hamper semua perusahaan publik di negara-negara Eropa dan beberapa negara lain diwajibkan menyusun laporan keuangan berdasar IFRS. pada 2 April 2009 untuk mempunyai a single set of high-quality global accounting standards dalam rangka menyediakan informasi keuangan yang berkualitas di pasar modal internasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut, IASC dan IASB telah menerbitkan principles-based standards yang disebut sebagai International Financial Reporting Standards (IFRS) dan sebelumnya International Accounting Standards (IAS). Kewajiban untuk menggunakan IFRS bagi perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa efek (listed companies) merupakan salah satu perubahan paling signifikan dalam sejarah regulasi akuntansi (Daske dkk., 2008). Telah lebih dari 100 negara mengadopsi IFRS. Regulator berharap bahwa penggunaan IFRS dapat meningkatkan komparabilitas laporan keuangan, meningkatkan transparansi perusahaan dan kualitas pelaporan keuangan sehingga menguntungkan investor. Meskipun demikian, masih terjadi perdebatan apakah IFRS dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi (Barth dkk., 2008; Daske dkk., 2008; Karampinis dan Hevas, 2011; Alali dan Foote, 2012).
Terdapat argumentasi bahwa IFRS dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi karena penggunaan fair value lebih dapat merefleksikan kondisi ekonomik perusahaan. Selain itu, penerapan IFRS juga dihipotesiskan dapat membatasi tindakan opportunistik manajemen (Barth dkk., 2008). Namun, pembatasan terhadap diskresi manajerial dalam memilih metode pengukuran justru dapat mengurangi kemampuan manajemen untuk dapat menyediakan informasia kuntansi yang  lebih dapat menggambarkan kondisi ekonomik perusahaan (Barth dkk., 2008). Selain itu, fleksibilitas dalam principles-based standards dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi perusahaan untuk melakukan tindakan manajemen laba.
Selain masih terjadi perdebatan konseptual, hasil penelitian juga menunjukkan bukti empiris yang bertentangan tentang manfaat IFRS/IAS dalam meningkatkan kualitas informasi akuntansi. Sebagai contoh, hasil penelitian Bartov dkk. (2005), Liu dan Liu (2007), Barth dkk. (2008), dan Alali dan Foote (2012) menunjukkan informasi akuntansi yang telah disusun berdasar IFRS/IAS lebih berkualitas dibandingkan informasi akuntansi yang disusun berdasar standar akuntansi sebelumnya. Sebaliknya, hasil penelitian Van der Meulen (2007), Hung dan Subramayam (2007), serta Karampinis dan Hevas (2011) menunjukkan bukti empiris yang bertentangan. Mereka menunjukkan tidak ada peningkatan signifikan dalam kualitas informasi akuntansi setelah adopsi
IFRS. Indonesia telah melakukan adopsi penuh IFRS mulai 1 Januari 2012. Namun penerapan IFRS telah dimulai secara bertahap dengan penerapan 19 PSAK dan 7 ISAK baru yang telah mengadopsi IAS/IFRS mulai 1 Januari tahun 2010.2 Konvergensi IFRS ini merupakan salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai anggota forum G-20. Seperti di negara-negara lain, masih menjadi perdebatan dan pertanyaan penelitian penting apakah penerapan IFRS di Indonesia dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi.

TELAAH LITERATUR DAN PENGEMABANGAN HIPOTESIS
Relevansi Nilai Informasi Akuntansi Konsisten dengan penelitian IFRS sebelumnya (misalnya Liu dan Liu, 2007; Van der Meulen, 2007; Barth dkk., 2008; Karampinis dan Hevas, 2011; Alali dan Foote, 2012), kualitas informasi akuntansi dalam penelitian ini diproksikan dengan relevansi nilai. Barth dkk. (2008) menyatakan perusahaan dengan kualitas informasi akuntansi yang tinggi mempunyai relevansi nilai laba bersih dan nilai buku ekuitas yang tinggi. Francis dan Schipper (1999) mendefinisikan relevansi nilai informasi akuntansi sebagai kemampuan angka-angka akuntansi untuk merangkum informasi yang mendasari harga saham, sehingga relevansi nilai diindikasikan dengan sebuah hubungan statistikal antara informasi keuangan dan harga atau return saham. Kualitas informasi akuntansi yang tinggi diindikasikan dengan adanya hubungan yang kuat antara harga/return saham dan laba serta nilai buku ekuitas karena kedua informasi akuntansi tersebut mencerminkan kondisi ekonomik perusahaan (Barth dkk., 2008). Pada umumnya analisis relevansi nilai mengacu pada kekuatan penjelas (explanatory power/R2) dari sebuah regresi antara harga/return saham dan laba bersih serta nilai
buku ekuitas.

METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2008-2011. Perusahaan publik yang terdaftar di BEI dipilih karena merupakan entitas dengan akuntanbilitas signifikan yang diwajibankan menggunakan PSAK-IFRS dalam penyusunan laporan keuangan mulai tahun 2010. Sampel akhir dipilih dengan teknik purposive sampling dengan kriteria:
a. Perusahaan tersebut mempublikasikan data laporan keuangan secara konsisten selama tahun 2008-2011;
b. Perusahaan tersebut melakukan initial public offering (IPO) sebelum tahun 2008; dan
c. Tersedia data-data lain yang diperlukan seperti data harga saham, jumlah lembar saham biasa. Penelitian ini menganalisis kualitas informasi akuntansi sebelum dan sesudah adopsi IFRS. Adopsi penuh IFRS di Indonesia baru dilakukan pada tahun 2012. Meskipun demikian, adopsi telah dilakukan secara bertahap mulai tahun 2010. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan ketersediaan data, maka periode setelah adopsi (post IFRS period) dipilih tahun 2010 dan 2011. Untuk memperoleh observasi waktu yang seimbang, maka periode sebelum adopsi dipilih tahun 2008-2009.




PEMBAHASAN
Bagian ini menguraikan hasil pengujian perbedaan relevansi nilai informasi akuntansi sebelum dan sesudah adopsi IFRS. Pada bagian pertama diuraikan prosedur pemilihan sampel dan jumlah sampel akhir untuk pengujian relevansi nilai. Bagian selanjutnya adalah statistic deskriptif dan matriks korelasi antarvariabel. Bagian selanjutnya adalah hasil pengujian hipotesis dan analisis tambahan (additional analysis).
Sampel
Tabel 1 menyajikan prosedur pemilihan sampel untuk pengujian relevansi nilai dengan teknik purposive sampling. Berdasar kriteriakriteria yang telah diuraikan sebelumnya, sampel akhir terdiri atas 378 perusahaan dari berbagai industri. Dengan periode amatan selama empat tahun maka diperoleh sampel sebanyak 1.512 perusahaan-tahun (firms-years). Jumlah amatan periode sebelum (tahun 2008-2009) dan setelah adopsi adopsi IFRS (tahun 2010-2011) masingmasing sebanyak sebanyak 756 perusahaan-tahun (firms-years). Pengujian terhadap perbedaan relevansi nilai informasi akuntansi menggunakan sampel perusahaan yang sama (konsisten selama 4 tahun) dalam rangka mengontrol faktor-faktor karakteristik perusahaan yang mungkin mempengaruhi validitas internal hasil penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Aboody, D., Hughes, J., & Liu, J. (2002). Measuring Value Relevance in a (Possibly) Inefficient
Market. Journal of Accounting Research, 40(4), 965-986.
Alali, F.A. & Foote, P.S. (2012). The Value Relevance Of International Financial Reporting Standards: Empirical Evidence in an Emerging Market. The International Journal of Accounting, 47, 85-108.
Ball, R., Robin, A. & Wu, S. (2003). Incentives Versus Standards: Properties of Accounting Income in Four East Asian Countries. Journal of Accounting & Economics 36, 235– 270.
Barth, M. E., Landsman, W. R. & Lang, M. (2008). International Accounting Standards and
Accounting Quality. Journal of Accounting Research, 46, 467–498.

Bartov, E., Goldberg, S. & Kim, M. (2005). Comparative Value Relevance Among German, U.S. and International Accounting Standards: A German Stock Market Perspective. Journal of Accounting, Auditing and Finance, 20, 95– 119.
Bradshaw, M.T. & Miller, G.S. (2007). Will Harmonizing Accounting Standards Really Harmonize Accounting? Evidence From Non-U.S. Firms Adopting US GAAP. Working paper, Harvard Business School.
Daske, H., Hail, L., Leuz, C. & Verdi, R. (2008). Mandatory IFRS Reporting Around The World: Early Evidence on The Economic Consequences. Journal of Accounting Research, 46, 1085–1142.
Djankov, S., La Porta, R., Lopez de Silanes, F. & Shleifer, A. (2008). The Law And Economics of Selfdealing. Journal of Financial Economics, 88(3), 430–465.
Ewert, R. & Wagenhofer, A. (2005). Economic Effects of Tightening Accounting Standards to
Restrict Earnings Management. The Accounting Review, 80, 1101–1124.
Francis, J. & Schipper, K. (1999). Have Financial Statements Lost Their Relevance? Journal of Accounting Research, 37, 319–352.
Gujarati, D. (2003). Basic Econometrics. NY: McGraw Hill.
Hung, M. & Subramanyam, K.R. (2007). Financial Statement Effects of Adopting International Accounting Standards, The Case of Germany. Review of Accounting Standards, 12, 623–657.
IDX Fact Book (2012). Diunduh dari www.idx.co.id


PERPAJAKAN INTERNASIONAL

Untuk memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah satu upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak berganda internasional.

Teori
Apakah prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam perpajakan internasional?
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan perpajakan internasional :
1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik)
Kemanapun kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24 yang mengatur kredit pajak luar negeri.

2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional):
Darimanapun investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama denagn Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent establishment (PE) atau Badan Uasah Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.

3. National Neutrality:
Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
Hasil atau Isi
Mengapa terjadi perpajakan berganda internasional?
Perpajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim perpajakan. Hal ini karena adanya prinsip perpajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber.

Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia.

Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
Apa saja upaya untuk menghindari perpajakan berganda internasional?

1. Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B):
yaitu perjanjian antara 2 negara untuk menghindari pajak berganda untuk memajukan investasi antara 2 negara tersebut. Untuk active income, Biasanya negara sumber hanya berhak memajaki penghasilan dari cabang (BUT) dan penghasilan dari aset tak bergerak yang berhasil dari negara sumber tersebut. Bila ekspor-impor biasa tanpa BUT maka negara sumber tidak bisa memajaki. Penghasilan pegawai hanya boleh dipajaki bila melewati time-test atau dibayar oleh WPDN ataupun BUT. Untuk passive income seperti deviden, bunga dan royalti, kedua negara berhak memajaki namun terdapat pengurangan tarif.

2. Kredit Pajak Luar Negeri:
Yaitu jumlah pajak yang dibayarkan di luar negeri dapat dijadikan pengurang pajak penghasilan secara keseluruhan. Di Indonesia diatur dalam UU PPh pasal 24. Dimana kredit pajak luar negeri hanya sebatas: Penghasilan LN/(Semua penghasilan LN dan DN) x PPh terutang untuk semua penghasilan
Apa saja masalah-masalah dalam perpajakan internasional?

1. Transfer Pricing:
ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan dengan hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar, membiayakan biaya-biaya lebih besar daripada harga yang wajar, thin capitalization (memperbesar utang dengan beban bunga untuk mengurangi laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura 25%. PT A punya anak perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A dapat digeser ke B Ltd yang tarifnya lbh kecil dengan cara B LTd meminjamkan uang dengan bunga yang besar, sehingga laba PT A berkurang, memang pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal bisa juga dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa (harga jual di bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia, transfer pricing dicegah dalam UU PPh pasal 18 dimana pihak fiskus berhak mengkoreksi harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal dan DER (Debt Equity Ratio).

2. Treaty Shopping:
Fasilitas di tax treaty justru bukannya menghindarkan pajak berganda namun malah memberi kesempatan bagi subjek pajak untuk tidak dikenakan pajak dimana-mana. Misalnya: Investasi SBI di bursa singapura dibebaskan pajak. Treaty Shopping diredam dengan ketentuan beneficial owner (penerima manfaat) dalam tax treaty (P3B) baik yang memakai model OECD maupun PBB sehingga tax treaty hanya berlaku bila penerima manfaat yang sebenarnya adalah residen di negara yang menandatangani tax treaty.

3. Tax Heaven Countries:Negara-negara yang memberikan keringanan pajak secara agresif seperti tarif pajak rendah, pengawasan pajak longgar telah membuat penerimaan pajak dari negara-negara berkembang merosot tajam. Negara tax heaven yang termasuk dalam KMK No.650/KMK04/1994 antara lain Argentina, Bahrain, Saudi Arabia, Mauritius, Hongkong, Caymand Island, dll. Saat ini negara tax heaven sedang dimusuhi dunia internasional, pengawasan tax avoidance (penghindaran pajak) di negara-negara tersebut sedang gencar-gencarnya. Berinvestasi di negara tax heaven beresiko besar terkena koreksi UU PPh Pasal 18. Lebih baik berinvestasi pada negara dengan tax treaty.

Minggu, 06 Juli 2014

PENETAPAN HARGA TRANSFER

METODOLOGI PENENTUAN HARGA TRANSFER 
Harga transfer dapat didasarkan pada biaya selisih kenaikan atau harga pasar. Pengaruh lingkungan atas harga transfer juga menimbulkan sejumlah pertanyaan mengenai metodologi penentuan harga. Prinsip wajar atau harga transfer antarperusahaan dengan mengandaikan transaksi itu terjadi antarpihak yang tidak berhubungan instimewa di pasar yang kompetitif. Menurut undang-undang Pajak Penghasilan di AS terdapat metode-metode: 
1.      Metode Harga yang Tidak Terkontrol
Setara Berdasarkan metode ini harga transfer ditentukan dengan mengacu pada harga yang digunakan dalam transaksi setara antara perusahaan yang independent atau setara perusahaan dengan pihak ketiga yang tidak berkaitan. 

2.      Metode Transaksi Tidak Terkontrol
Setara Metode ini diterapkan untuk pengalihan aktiva tidak berwujud. Metode ini mengidentifikasikan tingkat royalty acuan dengan mengacu pada transaksi yang tidak terkontrol di mana aktiva tidak berwujud yang sama atau serupa dialihkan. Sebagaimana metode harga tidak terkontrol yang setara, metode ini bergantung pada perbandingan pasar. 

3.      Metode Harga Jual Kembali 
Metode ini menghitung harga transaksi yang wajar yang diawali dengan harga yang dikenakan atas penjualan barang yang dimaksud kepada pembeli yang independent. Margin yang memadai untuk menutup beban dan laba nomal kemudian dikurangkan dari harga ini untuk memperoleh harga transfer antarperusahaan. 

4.      Metode Penentuan Biaya Plus 
Metode ini berguna apabila barang semi jadi dialihkan antarperusahaan afiliasi luar negeri atau jika suatu entitas merupakan sub kontraktor bagi perusahaan lain. 

5.      Metode Laba Sebanding 
Metode ini mendukung pandangan umum yang menyatakan bahwa pembayar pajak yang menghadapi situasi yang mirip harusnya memperoleh imbalan yang mirip pula selama beberapa periode waktu tertentu. 

6.      Metode Pemisahan Laba 

Metode ini digunakan jika acuan produk atau pasar tidak tersedia. Metode ini mencakup pembagian laba yang dihasilkan melalui transaksi dengan pihak berhubungan istimewa yaitu antara perusahaan afiliasi berdasarkan cara yang wajar. 

7. Metode Penentuan Harga Lainnya Metode ini dapat digunakan jika menghasilkan ukuran harga wajar yang lebih akurat.