Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.
Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.
Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan
ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak
kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan
memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika
ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).Akutansi
sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya.
Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh
kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk
oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat
pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas
sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia.
Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk
ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free),
tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai
(value-free).
Dalam laporan keuangan menurut APB Statement
no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying
Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini
adalah:
1. Memberikan informasi yang terpercaya
tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
3. Memberikan informasi keuangan yang dapat
digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
4. Memberikan informasi yang diperlukan
lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya. Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).
Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).
5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya. Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).
Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).
Usaha untuk memberikan “warna lain” agar
tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna
religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang
kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi
shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi
sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free). Akuntansi shari’ah memandang
bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas
dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya
dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi
konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar
berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik
dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah
sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil
tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara
individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi
terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. dan yang kamu rahasiakan), dan
Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.
Mengapa bisa demikian? Karena akutansi
shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana
keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik
perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan
andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.Bahkan Iwan Triyuwono
memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant)
untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan
unsur alam ke dalamnya.
Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan
ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari
akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat
horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang
bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min
al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan
akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai
kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya
memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.
Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.
SUMBER :
Penulis: M. Aqim Adlan Penulis adalah guru
Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.
http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/akuntansi_syariah.single
http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/akuntansi_syariah.single
Tidak ada komentar:
Posting Komentar